Kamis, 10 April 2014

Menumbuhkan Kesadaran HAKI Masyarakat



Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono meresmikan tahun 2009 sebagai tahun ekonomi kreatif. Visi dan misi pemerintah adalah membangkitkan perekonomian rakyat Indonesia untuk, meminjam istilah Bung Karno, berdiri di kaki sendiri (berdikari).
Ekonomi kreatif bertujuan mengembangkan produk-produk yang ditangani oleh bangsa sendiri. Pemberdayaan rakyat sebagai sumber daya manusia menjadi fokus utama dalam agenda ekonomi kreatif. Diharapkan produk yang dihasilkan anak negeri mempunyai daya saing dengan produk-produk dari luar negeri, sehingga konsumen lebih memilih produk dalam negeri. Pada fase berikutnya ekonomi kreatif menjadi harapan bersama. Kecenderungan untuk berkembang sangat besar.
Ada 14 subsektor ekonomi kratif yang dapat dikembangkan. Keempat belas subsektor itu adalah, (1) periklanan, (2) arsitektur, (3) pasar barang seni, (4) kerajinan, (5) desain, (6) fesyen, (7) film, video, dan fotografi, (8) permainan kreatif, (9) musik, (10) seni pertunjukan, (11) penerbitan & percetakan, (12) layanan komputer dan piranti lunak, (13) radio & televisi, (14) riset & pengembangan.
Pertumbuhan ekonomi kreatif terus meningkat. Menurut data Departemen Perdagangan, industri kreatif pada 2006 menyumbang Rp 104,4 triliun, atau rata-rata 4,75% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional selama 2002-2006. Jumlah ini melebihi sumbangan sektor listrik, gas dan air bersih. Tiga subsektor yang memberikan kontribusi paling besar nasional adalah fesyen (30%), kerajinan (23%) dan periklanan (18%). Selain itu, sektor ini mampu menyerap 4,5 juta tenaga kerja dengan tingkat pertumbuhan sebesar 17,6% pada 2006. Ini jauh melebihi tingkat pertumbuhan tenaga kerja nasional yang hanya sebesar 0,54%. Namun, ia baru memberikan kontribusi ekspor sebesar 7%, padahal di negara-negara lain, seperti Korea Selatan, Inggris dan Singapura, rata-rata di atas 30%.
Data ini mengatakan bahwa ekonomi kreatif mempunyai masa depan yang cerah. Minat masyarakat semakin menggairahkan. Di sisi lain, lapangan pekerjaan juga terbuka lebar. Sehingga pengangguran dapat terpangkas.

Urgensitas HAKI

Pada tahap berikutnya perkembangan ini membutuhkan kawalan dari pemerintah dan masyarakat. Pasalnya beberapa kasus tentang hak karya inteletual (HAKI) mencuat dan menjegal masyarakat dalam berkarya. Kasus pencurian HAKI, misalnya, pada produk ukiran atau mebel Jepara, Jawa Tengah menjadi masalah serius. HAKI motif ukir Jepara yang seharusnya milik warga Jepara telah terlebih dahulu didaftarkan oleh Christopher Harrison, Pemilik PT Harrison & Gil yang berlokasi di Semarang, dalam buku katalog berjudul Harrison & Gil Carving Out A Piece of History ke Direktorat Jendral HAKI.
Masalah ini kemudian membuat penolakan terhadap produk ukir di Jepara. PT Citra Nuansa Nusantara Aris Munandar ditolak oleh relasi bisnisnya di Prancis. Ia beralasan motif ukiran Aris sudah dipatenkan pengusaha lain di negaranya. Padahal sang pelanggan kerap memborong ribuah buah kursi taman hasil karya Aris dengan jumlah ribuan, dengan harga perbuah Rp 100 ribu (Sunariah, Sohirin, dan Joniansyah, Ukiran Jepara Disandera Katalog, Majalah Tempo, vol. 37 no. 07, Apr. 2008, hlm. 88)

Keberaksaraan
Kasus HAKI ini sangat krusial dalam tragedi di Jepara itu. Christopher bisa jadi disalahkan dalam kasus ini, namun masyarakat sendiri seharusnya pun instrokpeksi. Jangan-jangan kasus tersebut karena kelalaian masyarakat mendaftarkan pada Direktorat Jendral HAKI. Sikap diam terhadap HAKI ini tidak bisa dilepaskan dari kultur masyarakat yang kurang peka terhadap realitas. Kultur kepekaan terhadap informasi bisa jadi menjadi bumerang bagi masyarakat.
Telah lama Prof. A Teeuw menerangkan tentang kultur ini dalam Indonesia Antara Kelisanan dan Keberaksaraan (1994). Menurutnya kultur masyarakat Indonesia didominasi oleh kelisanan. Kultur ini berdampak pada pengarsipan. Sebagai contoh adalah cerita atau legenda sebuah daerah yang dapat diketahui dari cerita mulut. Dalam skup yang luas, kini tingkat literasi di Indonesia sangat memprihatinkan.
Kultur kelisanan dalam kaitan dengan HAKI merupakan penghalang. Artinya kesadaran untuk mematenkan produk karyanya tidak bisa hanya diabadikan dari cerita tutur, dari mulut ke mulut saja. Tetapi butuh bukti legal, yakni sertifikat dari Direktorak Jendral HAKI. Beralihnya kultur kelisanan pada keberaksaraan memang agak menyulitkan karena kebiasaan yang sudah membudaya harus dirombak. Hal itu harus dilakukan demi stabilitas ekonomi kreatif masyarakat.
Kesadaran untuk pro aktif mencari informasi tentang HAKI dan mendaftarkannya adalah langkah mengatasi persoalan ke depan dalam berwirausaha. Peran serta pemerintah dan masyarakat, serta elemen yang peduli sangat penting. Pemerintah, misalnya, membuat program sosialisasi HAKI kepada masyarakat, terlebih yang dinilai masih minim pengetahuan tentang HAKI. Bagai gayuh yang bersambut, masyarakat merespon positif dengan menginventarisir karyanya untuk kemudian didaftarkan. Sementara harus ada pihak independen yang selalu mengingatkan akan pentingnya HAKI dalam rangka berwirausaha dan menumbuhkan ekonomi kreatif.
Dalam menumbuhkan kesadaran masyarakat akan HAKI, perlu diterapkan sejak dini dalam jiwa kreatif seorang anak. Setiap orang tua ingin anaknya sukses. Setiap orang tua ingin mengetahui dan mengembangkan bakat anak. Hanya saja, tuntutan pekerjaan membuat banyak orang tua tidak punya waktu melakukan tes untuk menemukan bakat anak. Kalau pun mengikuti tes, orang tua seringkali kesulitan untuk memberikan stimulasi pengembangan bakat anak secara berkelanjutan. Padahal pengembangan bakat bukanlah proses sekali jadi, tapi proses yang butuh waktu lama mulai dari menemukan, menggemari hingga menjadi mahir.
Pengembangan bakat pun akan lebih sulit ketika dilakukan secara individual. Ketika anak tidak menemukan teman dengan bakat yang sama maka tugas orang tua untuk menjaga konsistensi anak dalam mengembangkan bakat jadi lebih berat. Semisal anak berbakat melukis padahal teman-temannya tidak ada yang suka melukis maka yang terjadi adalah penurunan motivasi anak.